Sebentar kok hehe
Rabu, 02 Juni 2010
Sabtu, 22 Mei 2010
2nd Chapter: "Tell me, is it me who's dreaming?"
I don't quite know
How to say
How I feel
Those three words
Are said too much
They're not enough
Chasing Cars - Snow Patrol
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga siang, Kirka merapikan isi tasnya yang berantakan, karena, sempat memasukkan barang secara asal-asalan. Ia mengeluarkan ipod black classic-nya dari dalam tas dan menyelipkan headset berwarna hijau muda di telinganya. Sambil berjalan menuju kantin, Kirka sempat menyapa beberapa temannya dan mengajak mereka untuk ikut makan di kantin. Auri baru saja membeli semangkuk bakso, langsung duduk disebelah Kirka yang masih menunggu pesanan.
"Nggak bareng Satria?" tanya Auri lalu menyuap kuah baksonya.
"Belum kelihatan, Ri. Lo juga nggak sama Galang?"
"Dia nggak masuk. Nggak makan, Ka?"
"Nggak. Cuma pesan Jeruk hangat." jawab Kirka sambil bertopang dagu.
"Eh Ka, itu Satria. Lagi jalan sama Tio." Auri mengarahkan Kirka dengan menatap orang yang ada di seberang kirinya. Kirka menatap orang yang ditunjuk Auri. Ia ingin sekali memanggil Satria lalu mengajak dia duduk di sebelahnya. Tapi, ia urungkan niat itu. Ia tahu percuma saja, Satria pasti akan lebih memilih duduk bersama teman-temannya.
"Nggak diajak kesini, Ka?" tanya Auri, heran.
"Biarin aja. Nanti dia juga kesini." kata Kirka sambil mengibaskan tangannya di depan dada.
Pesanan Kirka sudah tiba di meja. Ia meyeruput perasan jeruk hangatnya lalu mengganti lagu yang sedang diputar di ipod-nya. Terlalu mellow untuk suasana hatinya yang juga sedang mellow. Apalagi, suasana mendung yang mendukung akan memperparah ke-mellow-an harinya. Kirka memerhatikan Auri yang tiba-tiba mendapat telepon dari Galang. Betapa perhatiannya Galang sama Auri, sampai harus menelfon Auri saat dia tidak masuk.
Ingin sekali Kirka bandingkan dengan Satria yang sangat cuek dengan dirinya. Bahkan, dari dua kali nge-date, keduanya tidak ada yang romantis. Ia dan Satria hanya sempat berkeliling Jakarta dengan busway, dan nonton film di Jakarta theatre. Oke, memang cukup menyenangkan bisa keliling Jakarta dengan busway. Tapi, gimana mau menyenangkan kalau Satria hampir terus membungkam mulut, selalu saja Kirka yang memulai percakapan. Satria mulai lebih sering berbicara ketika mereka berada di Museum Nasional. Ia menceritakan detail demi detail yang ia tahu tentang patung-patung disana. Kirka sadar dirinya bosan, tapi, dengan melihat Satria yang bersemangat, ia berusaha untuk tidak bosan.
"Satria ke sini tuh." bisik Auri membangunkan Kirka dari lamunannya.
Satria berjalan ke arah mereka berdua, ia menyapa Auri lalu duduk di sebelah Kirka. Kirka berusaha cuek dengan kedatangannya. Padahal, ia sadar hatinya sedang berlonjak kegirangan. Satria mengambil salah satu earplug Ipod Kirka dan dipasangkan di telinganya. Alunan lagu Heartbeat dari Tahiti 80 mengisi keheningan yang mereka rasakan. Auri sadar, ia harus segera pergi dari situ dan membiarkan mereka berdua. Ia pun pamit dengan Kirka dan Satria lalu berjalan keluar kantin. Kirka dan Satria masih diliputi keheningan, masing-masing hanya mengikuti suara Xavier Boyer sambil menggumamkan beberapa lirik lagunya.
"Kirka, maaf ya. Hari ini aku nggak bisa nganterin kamu pulang. Lagi." kata Satria, akhirnya membuka mulut. "Ya sudah. Latihan band lagi, ya?" Kirka berusaha agar suaranya tidak terdengar aneh. Satria hanya mengangguk, "lombanya sudah tinggal tiga hari lagi, Ka." jelas Satria. Kali ini Kirka yang mengangguk, tanda ia mengerti maksud Satria. Kirka lalu berdiri dan melepaskan earplug dari telinga Satria, "aku pulang ya. Kamu nanti jangan lupa makan. Oke?". Satria juga ikut berdiri dengan tampang bersalah. Ia yakin, ia adalah pacar yang keterlaluan dengan meninggalkan Kirka pulang sendiri untuk ketiga kalinya dalam minggu ini. Ia pun menatap punggung Kirka yang sudah berada jauh darinya. Sudahlah, bisiknya dalam hati.
Suasana rumah Kirka selalu begini, sepi. Hanya ada suara anak-anak tetangga yang sedang bermain di depan rumah. Sedangkan di dalam rumahnya, Ibu Jema sedang sibuk bekerja di ruang kerjanya atau sedang keluar rumah untuk bertemu klien. Kalau mas Aga, ia selalu kuliah sampai malam, atau sedang mengerjakan proyek film-nya. Kirka menatap makan siangnya, ia sama sekali sedang tidak berniat makan. Ibu Jema sedang bersiap-siap untuk bertemu klien, pakaian kerjanya yang terlihat cukup santai membalut indah badannya. Limabelas menit kemudian Ibu Jema sudah pergi dengan Toyota Swift mungilnya. Kirka tidak menghabiskan beef lasagna-nya. Ia memilih untuk pergi ke kamar dan menyalakan laptop-nya untuk mengerjakan tugas proposal. Beberapa kali Kirka merasa tidak konsentrasi dan terus mengecek handphone-nya setiap lima menit. Ia akhirnya mengetik sebuah SMS untuk Satria.
To: Satria
Udh selesai latihannya?
Satria akhirnya menyelesaikan lagu terakhir untuk latihannya kali ini. Ia lalu menaruh kembali gitar listrik sekolahnya dan merapikan ruang auditorium yang sedikit berantakan tersebut. Tio sang keyboardist memilih untuk pulang duluan. Karena, ia sudah beberapa kali ditelfon ibunya. Hanya tinggal Satria dan Raka yang sedang berjalan menuju parkiran motor di seberang ruangan auditorium. "Semoga, kali ini kita menang ya, Sat." kata Raka sambil menyalakan motor bebeknya. "Iya." jawab Satria. Ia merasa handphone-nya bergetar dan mendapati pesan baru di layar. Motor bebek Raka sudah melesat pergi keluar gerbang sekolah. Satria sempat membalas dulu SMS sebelum akhirnya ia juga melesatkan motornya keluar sekolah.
Satria mengengendarai motornya di Jl. TB Simatupang yang cukup lengang, tapi niat untuk langsung pulangnya ia urungkan dan malah mengendarai motornya menuju daerah Lebak Bulus.
Kirka terbangun dari tidur siangnya karena suara handphone yang berdering cukup keras di sebelahnya. Ada pesan baru di layar handphone, dan segera ia baca isi pesan tersebut.
Kirka tersenyum senang dengan balasan SMS dari Satria. Meskipun isi pesan singkat itu terlalu singkat jika ditujukan untuk seorang pacar. Ah, Sudahlah.
Selasa, 11 Mei 2010
happily present... the 1st Chapter !!
“Tap.. tap.. tap.. “ Langkah kaki Kirka bergema di sepanjang lorong lantai 2 SMA Magradika Jakarta yang sudah sepi sejak setengah jam yang lalu. Sambil membawa map besar dan beberapa buku pelajaran ditangan kanannya sementara tas kanvas besar yang bergambar kamera pocket hasil gambar tangannya sendiri terlampir di pundak, Kirka berlari kecil menyusuri lorong sambil matanya sesekali melirik ke kertas jadwal ruang mata pelajaran semester ini yang ia pegang di tangan kirinya dan papan nama setiap kelas yang ia lewati secara bergantian.
Kirka memang masih juga belum terbiasa dengan system pelajaran tahun ini yang berganti menjadi system moving class. Dimana kini siswa-siswi harus berpindah-pindah kelas sesuai dengan mata pelajaran mereka. Jika pelajaran matematika maka kita harus pergi ke kelas matematika, jika sehabis itu mata pelajarannya adalah pelajaran seni budaya, maka kita harus berpindah kelas ke kelas seni budaya, dan begitu seterusnya. Maka kini tidak ada lagi yang namanya ruang kelas X-4, XI IPS 3, atau pun XII-IPS 2. Yang ada hanyalah ruang 202 kelas bahasa inggris, ruang 208 kelas geografi, dan ruang kelas mata pelajaran lainnya.
Dan yang paling tidak diuntungkan dengan system pelajaran baru yang mencontek budaya sekolah di luar negeri ini adalah tidak lain dan tidak bukan yaitu, Kirkanaya Nara. Ya, Kirka. Mengingat gadis ini memang punya ingatan yang sangat pendek yang sangat bertolak belakang dengan tubuhnya yang tinggi semampai. Padahal sudah 2 bulan system moving class ini diberlakukan, tapi Kirka tidak juga hafal dimana ruang geografi, ruang ekonomi, dan ruang-ruang lainnya. Yang ia ingat hanya ruang bahasa Indonesia yang letaknya sangat strategis karena dekat dengan kantin. Sehingga sebelum masuk kelas, Kirka bisa mampir ke kantin sebentar untuk meladeni nafsu ngemilnya yang cukup tinggi.
Maka alhasil seperti inilah Kirka. Luntang-lantung panik mencari kelas Sejarah. Ditambah lagi ia telat, sehingga Kirka pun tidak punya teman barengan ke kelas dan ia harus kelimpungan sendiri seperti ini sekarang, setelah sempat nyasar ke ruang 211 dan menemukan fakta bahwa kertas jadwal pelajaran yang sedari tadi ia jadikan pedoman sangat amatlah tidak berguna. Mengingat di kertas jadwal pelajaran itu hanya tertulis nomer ruangan setiap mata pelajarannya, bukan denah lokasi dimana ruang-ruangan itu berada.
Akhirnya disinilah Kirka. Di depan pintu ruang 207, dimana terdapat papan kayu menggantung di sisi kanan atas pintu yang bertuliskan “Sejarah”. Kirka melirik sekilas jam tangan kulit cokelat yang melingkar di tangan kiri nya yang telah menunjukkan pukul 7.10. Kirka pun merengut cemas. Dirapikannya baju seragam nya yang agak berantakan menyembul keluar akibat aksi lari-lari tadi. Kemudian ia mengencangkan ikatan rambutnya yang di kuncir kuda. Kirka pun lalu mengetuk pelan pintu sebanyak tiga ketukan. Ia mengehela nafas panjang dan membuka pintu. Aneh. Suasana kelas begitu sepi. Kirka mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. Teman-teman sekelasnya, kelas XI.IPS.3, tidak biasanya diam seperti ini. Dan ia kemudian mengarahkan pandangannya ke arah sudut kanan depan kelas. Bu Tari yang sedang duduk di meja guru itu nampak memandang ke arahnya dengan ekspresi agak terheran. Mata Kirka pun bertemu pandang dengan Bu Tari. Ia berdehem pelan, sebelum kemudian melangkahkan kakinya dengan sangat perlahan lurus menuju Bu Tari yang masih terduduk sambil memandangnya lekat-lekat. Ia berjalan begitu perlahannya, sengaja mengulur waktu untuk memikirkan alasan yang tepat, jitu, dan akurat untuk keterlambatan nya kali ini. Keterlambatan ketiga nya dalam semester 1 yang baru berjalan 2 bulan ini. Keterlambatan keduanya baru saja terjadi di pertemuan minggu lalu, saat Kirka berkilah bahwa keterlambatannya itu disebabkan oleh ia yang harus mengantar Mamanya dini hari sekali ke bandara untuk dinas ke Singapore. Padahal kenyataannya, Kirka memang mengantar Mamanya ke Singapore, tapi itu pada sore kemarinnya. Dan setelah Kirka mengantar Mamanya ke bandara itu, Kirka malah pergi nongkrong di Mall dengan kakaknya, Mas Aga dan sepupunya, Naya hingga larut malam. Dan alhasil gara-gara itulah ia telat bangun dan terlambat ke sekolah keesokkan harinya.Namun untuk yang sekarang? Apa alasannya?.
Cukup lama Kirka berpikir sampai akhirnya tidak terasa ia sudah sampai berdiri di jarak 20 cm dari tempat Bu Tari duduk. Kemudian Kirka mengambil secarik kertas persegi panjang yang terselip diantara buku-buku pelajaran yang ia pegang di tangan kanannya. Ia pun lalu menaruh kertas Keterangan Terlambat itu di atas meja di hadapan Bu Tari. Kirka mengehela nafas panjang untuk kesekian kalinya. “Bu maaf saya tahu saya salah karena saya terlambat, tadi saya berangkat bareng kakak saya Bu naik motor , tapi gak tau kenapa pas di pertigaan pasar sana tiba-tiba motornya mogok Bu, padahal bensin masih penuh, dan bannya juga masih kenceng Bu. Akhirnya saya terpaksa jalan, karena angkot pada penuh semua. Sekali lagi maaf ya Bu. Dan kalo Ibu gak percaya, Ibu bisa tanya ke kakak saya atau Mama saya sekalian.” Kirka berkilah cepat dengan kalimat panjangnya yang telah ia rangkai sebegitu sempurnanya hanya dalam waktu tidak sampai semenit. Sehabis ini ia harus segera sms Mamanya dan Mas Aga. Karena Bu Tari bukan tidak mungkin akan benar-benar menanyakan hal ini pada kakak atau Mamanya. Mengingat Bu Tari memang cukup baik mengenal Mamanya, Jenima Kanaya, wedding organizer yang membantu mempersiapkan pernikahan putra sulung Bu Tari dua bulan lalu. Mamanya pasti mau diajak sedikit berbohong demi memperbaiki citra anak bungsu kesayangannya ini di depan Bu Tari. Tapi tentu saja setelah bertemu di rumah nanti Kirka pasti akan dimarahi habis-habisan, karena Mamanya benar-benar tahu alasan sesungguhnya Kirka bisa datang terlambat ke sekolah hari ini. Yaitu karena semalaman Kirka nekat merampungkan novel “Julie & Julia” karangan Julie Powell milik Mamanya. Dan semalam pun sebenarnya Mamanya telah berkali-kali menasihati Kirka untuk segera tidur dan meneruskan baca di keesokan hari. Tapi bukan Kirka si kepala batu namanya kalau mau menuruti kata-kata Mamanya. Meski ia sudah merasa pelupuk matanya menjadi begitu berat, ia terus nekat meneruskan membaca hingga halaman terakhir dan baru tidur kemudian pada jam 1 malam.
Bu Tari menatap kertas Keterangan Terlambat milik Kirka di meja sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke arah Kirka “Ya sudah, kali ini Ibu maafkan karena Ibu percaya kalau kamu sudah membawa-bawa nama Ibu kamu. Tapi ini sudah ketiga kalinya kamu terlambat di pelajaran Ibu. Kalau kamu membuatnya menjadi yang keempat, Ibu tidak segan untuk tidak mengizinkan kamu mengikuti pelajaran Ibu”. Yes!!! Kirka berteriak dalam hati. Bu Tari benar-benar percaya. Thanks a lot to you Mom!. “Oh iya-iya. makasih ya Bu. Iya saya janji gak akan telat lagi Bu” ujar Kirka dengan muka innocent nya.
Kirka lalu membalikkan badannya. Ia mengedarkan pandangannya lagi ke seluruh kelas, sampai akhirnya matanya tertumbuk pada Auri, gadis berkacamata berambut hitam ikal sebahu itu nampak sedang serius membaca buku sejarah yang tergeletak di mejanya yang berada di barisan pojok pinggir pintu baris ke empat dari depan. Bangku di sebelah pojok di samping Auri nampak masih kosong, menunggu untuk diduduki oleh Kirka.
Kirka berjalan mantap menuju bangku kosong tersebut. Tiba-tiba Bu Tari berseru dengan lantang “Yak anak-anak sekarang tutup semua bukunya dan kumpulkan ke depan. Dewi, cepat bagiin kertas ulangannya ke yang lain”. Dewi sang bendahara kelas, berdiri dari tempat duduknya dan dengan gesit membagikan kertas ulangan satu per satu pada anak-anak yang lain. Sementara anak-anak pun mulai berdiri mengumpulkan buku sejarah mereka di meja guru. Kirka yang sempat berdiri mematung keheranan, sontak berteriak kaget “Lho? Ulangan Bu? ”. Bu Tari yang sibuk merapikan buku-buku pelajaran yang tergeletak berantakan di meja berujar santai tanpa menoleh ke arah Kirka “Iya, Ibu sudah bilang kok dari minggu kemarin. Malah tadi juga Ibu sudah ngasih waktu untuk belajar setengah jam. Siapa suruh kamu baru datang”. -----------------. Kirka terdiam. Mematung. Mati gaya. Shit!!. Iya ya, Bu Tari kan udah bilang minggu lalu, malah kemarin Auri juga sempet ngingetin kok tentang ulangan hari ini. Aduh.. Kirka…… sedih banget sih lo punya ingetan Kw2 gini!. Kirka hanya bisa mengeluh di dalam hatinya. Kemudian ia segera berjalan ke bangkunya sambil sebelumnya melirik ke arah Auri yang hanya bisa melihatnya dengan tatapan kasihan. Dari ekspresi Kirka, Auri bisa menebak kalau sahabat sebangkunya dari kelas X ini sangat belum siap menghadapi ulangan.
Kirka segera mengeluarkan alat tulis dari tasnya dan menaruhnya ke atas meja. Aduh gimana nih? Gue sama sekali belom belajar. Ulangan bab yang mana aja gue gak tau! Mampus! Mampus! Ahh.. apa nge-bet aja kali ya?. Kirka pun segera mencari buku cetak Sejarah yang berwarna hijau di dalam tas-nya. Satu per-satu ia jarinya menyusuri tiap buku di dalam tasnya. Hmmm.. buku biru buku PKN, merah buku Matematika, Kuning buku bahasa inggris, hmm ijo-ijo.. Lho Buku Ijo? Buku ijo, buku sejarah mana?. Jangan… Jangan… Ya ampun!! Dia lupa bawa buku sejarah!. Ahhhhhh. Duh mau nyontek pake apaan dong? Buku catetan juga gak punya.
Kirka kemudian melirik ke arah Auri. Auri yang memang sedari tadi memperhatikan tingkah-polah kirka yang begitu heboh, hanya mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya ada apa dengan Kirka. “Ri, pinjem buku sejarah kamu dong?” Kirka berbisik pelan pada Auri. “Yah telat Ka, tadi udah aku kumpulin. Udah tenang, nanti kamu liat jawaban aku aja.” Auri balas berbisik lembut. Sahabat Kirka yang satu ini memang begitu baik. Selain baik, Auri yang juga adalah tetangga satu komplek Kirka merupakan juara kelas dari kelas X. Kirka sering memintainya tolong untuk membantunya belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Saking dekatnya mereka, mereka pun menggunakan bahasa halus “aku-kamu” untuk percakapan sehari-hari khusus antara mereka berdua. Kirka benar-benar telah menganggap Auri sebagai saudara perempuannya, mengingat Kirka hanya memiliki kakak laki-laki yang itu pun memiliki perbedaan umur 4 tahun di atas Kirka.
Kembali pada Ulangan Sejarah yang begitu mematikan bagi Kirka. Setelah gagal mendapatkan pinjaman buku untuk contekan dari mana-mana, Kirka benar-benar tidak bisa mengandalkan apapun. Tidak otak dengan ingatan dangkal miliknya, ataupun tidak dengan otak encer milik Auri disebelahnya, yang ternyata juga tidak dapat membantunya karena Bu Tari memberikan soal yang berbeda-beda untuk tiap meja sebangku. Dimana soal Auri soal A, dan Kirka mendapatkan soal B. Di depan Kirka, duduk Sura, gadis bertubuh agak berisi, berambut panjang hitam kelam dengan kulit putih khas Manado yang memiliki kepribadian begitu Dark! Sangat misterius dan kental dengan hal-hal berbau Mistis. Hal ini terlihat dari barang-barang Sura yang semuanya bernuansa hitam! dan anaknya yang memang suka menutup diri dan sering bertingkah aneh. Tapi Sura tentu saja mendapatkan soal B, sama seperti Kirka. Tapi Kirka tidak mungkin bertanya atau mencontek pada Sura, yang memang tidak begitu dekat dengannya. Hmm.. bisa-bisa Kirka bukannya diberi jawaban malah diberi tatapan maut melotot dengan mata besar Sura yang seperti mata kucing hitam. hiiii…. Kirka bergidik ngeri sendiri.
Kirka kemudian melirik ke arah belakangnya. Samar-samar ia melihat Imam, anak paling madesu a.k.a Masa depan Suram di kelas XI IPS 3 ini yang nampak tengah tertidur pulas diatas kertas ulangannya yang terlihat blank! Kosong!. Ahh benar-benar tidak bisa diharapkan.
Kirka mengalihkan pandangannya ke arah Auri. 180 derajat berbeda dengan pemandangan suram yang baru saja dilihatnya. Auri nampak begitu gesit dan seolah begitu menggebu-gebu mengisi kertas ulangannya yang terlihat sudah penuh setengah halaman. Padahal ulangan baru berjalan 5 menit. Bahkan Kirka pun belum sama sekali melirik apalagi membaca soal-soal di kertas soal miliknya. Auri… Auri… Apa sih yang ada di otaknya? Jangan-jangan mesin fotocopy lagi? Kok bisa ya dia benar-benar hafal materi sejarah yang banyaknya keterlaluan begitu.
Sadar bahwa dirinya semakin membuang-buang waktu hanya dengan menatap Auri dengan tatapan terkagum-kagum seperti biasanya, Kirka akhirnya meraih kertas soalnya. Ada 5 soal uraian.
1. Jelaskan bukti-bukti yang mendukung pengaruh Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 & abad ke 13.
2. Tuliskan pendapat –pendapat para ahli tentang pembawa agama Islam ke Indonesia.
3. Berikan alasanmu, mengapa agama Islam dengan mudah dapat diterima di Indonesia?
4. Jelaskan proses pecahnya Mataram menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
5. Apa saja yang telah dilakukan kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa untuk menyebarkan Islam?
Ya ampun! Soal apa ini? Emang ada ya yang beginian di buku?. Ah gak ada yang gue tau!. Kirka mengeluh di dalam hati. Kirka memang tidak pernah serius menanggapi pelajaran sejarah. Saat pelajaran Sejarah berlangsung, Kirka biasanya lebih memilih untuk tidur sambil mendengarkan lagu di ipod hijau muda kesayangannya, atau membaca novel-novel jadul milik mamanya yang sering ia pinjam. Dan jangankan membaca atau pun membuka buku Sejarah, Kirka malah biasanya sering lupa membawa buku tersebut ke sekolah. Seperti hari ini contohnya.
Ah. Coba Satria disini. Di sampingnya. Cowok yang baru resmi menjadi pacar Kirka sejak hampir 2 bulan yang lalu itu amatlah mencintai sejarah. Tidak seperti orang-orang yang berpendapat untuk “tidak menengok lagi yang telah lalu dan lurus menatap apa yang ada di depan saja”, Satria Ramadya cowok pendiam yang jago bermain gitar dan mengaku sangat mengidolakan _______ ini malah berprinsip bahwa dalam mengambil keputusan untuk masa depan kita harus selalu terlebih dahulu menengok sejarah, menengok ke belakang dimana harta yang sesungguhnya yaitu pelajaran dari pengalaman terdapat di masa lalu. Jadi dengan bahasa yang universal, yang dimaksud Satria adalah kita harus belajar dari pengalaman. Satria…. ya kalau dia ada disini, pasti dengan mudah ia dapat membantu Kirka mengerjakan soal-soal ini. Kirka ingat Satria pada suatu malam menelponnya selama lebih dari 1 jam dan habis hanya untuk bercerita kepada Kirka tentang bagaimana tragisnya kisah cinta yang terjalin antara Ken Arok dan Ken Dedes. Satria juga pernah beberapa kali mengajaknya ke Museum Gajah, dan bagaikan seorang pemandu wisata professional, Satria mampu menjelaskan dengan detail hampir seluruh barang-barang peninggalan sejarah yang ada di museum tersebut. Satria sungguh bertolak belakang dengan Kirka yang sekali lagi dengan ingatannya yang dangkal sangat benci menghafal danjuga sangat benci dengan segala sesuatu yang mengharuskan dirinya untuk menghafal, seperti pelajaran Sejarah ini salah satunya.
Andaikan pulsa di handphone Kirka masih bersaldo, mungkin sudah dari tadi ia meng-sms Satria menanyakan jawaban dari soal-soal ulangannya tersebut. Sayangnya hari ini Kirka memang kelewat sangat tidak beruntung. Saldo pulsa di handphonenya hanya tinggal bersisa Rp 8 perak.
Kemudian iseng-iseng Kirka memasukkan tangan kirinya ke kolong laci meja. Meraba-raba menyusuri ruang laci tersebut berharap menemukan buku Sejarah milik siswa kelas lain yang mungkin saja tertinggal. Tapi nyatanya, Kirka tidak menemukan apa-apa melainkan hanya secarik kertas. Dengan perlahan Kirka kemudian menaruh kertas tersebut di atas meja kemudian langsung ia tutupi dengan kertas ulangannya. Ia melirik ke arah Bu Tari memastikan keadaan aman. Setelah yakin keadaan aman, Kirka perlahan menggeser kertas ulangannya untuk melihat isi dari kertas yang ditemukannya tadi. Tidak menemukan buku sejarah untuk di contek, Kirka berharap kertas itu berisi contekan bekas anak kelas lain yang sudah ulangan terlebih dahulu. Namun ternyata…. ….ZONK! BLANK! KOSONG!. Secarik kertas yang hanya berukuran setengah halaman buku tulis yang disobek itu tidak berisikan apa-apa selain tulisan tanggal kemarin di pojok kiri atas, dan huruf S yang ditulis besar menggunakan pulpen di pojok kanan atas kertas. Ya ampuuunnnn!!!! Hari ini tidak ada kata yang dapat menggambarkan nasib Kirka selain kata: SIAL!. “Duh sial-sial sialan-sialan!!!” Kirka mengumpat dalam hati sambil meneruskan tulisan huruf S tadi dengan menuliskan huruf i-a- dan l setelah huruf S, sehingga membentuk kata: Sial!.
“15 menit lagi ya anak-anak!” Bu Tari berseru sambil melihat ke arah jam tangannya. Kirka pun sontak kaget. Kertas jawabannya masih kosong. Dan ia benar-benar tidak tahu sama sekali satupun jwaban dari kelima soal tersebut. Kirka mengambil pulpennya dan menulis “BODO! ULANGAN GUE = 0!!!” di kertas yang telah ia tulisi “sial” tadi. Tanpa pikir panjang ia pun segera melempar secarik kertas tadi kembali ke laci meja, dan sejurus kemudian nampak begitu gesit mengarang bebas di kertas ulangannya. Huh! Benar-benar awal hari yang sangat tidak menyenangkan. SEJARAH SUCKSS!!!!
(hehe maaf masih kasar..)
Prolog "Disaster brings you to love"
"It's complicated, it always is
That's just the way it goes
feels like I've waited so long for this
I wonder if it shows?"
When love takes over- David Guetta ft. Kelly Rowland
Kirkanaya Nara sedang berdiri di depan sebuah cermin. Gadis yang biasa dipanggil Kirka itu memutar badannya, memperhatikan setiap detail penampilannya lalu menggelung rambutnya keatas. Penampilannya terlihat begitu cantik dengan pakaian tradisional khas Sumatera; baju kurung yang dipadu dengan kain tenun berwarna senada, hijau muda. Ia memoleskan sedikit pelembab bibir untuk bibirnya yang kering. Kirka memandang lagi refleksi dirinya di cermin, ketika sebuah ketukkan mengagetkannya.
Jenima Kanaya, atau ibu Jema, seorang wedding orginizer yang cukup terkenal dikalangan socialite Jakarta. Ia pernah beberapa kali menangani acara pernikahan para artis ibukota, yang sangat megah dan begitu meriah. Tidak heran jika hari ini, Kirka, sang anak, membantu ibunya di acara pernikahan salah satu kliennya.
"Kirka, ayo bantu Ibu Kamu bisa kan dandanin para pagar ayu?" perintah Ibu Jema sambil menyerahkan sebuah kotak make up.
Siapa sangka para pagar ayu yang akan dimake-up adalah kumpulan anak SD yang tidak bisa diam. Mereka terus saja membuat Kirka kewalahan menghadapinya, sebagian hanya duduk tenang saat Kirka mulai memoleskan bedak, sebagian lagi, berlari mengelilingi Kirka dan berteriak-teriak kepada orang lain. Kirka hanya bisa menghela nafas panjang sambil melihat sekelilingnya. Acara resepsi pernikahan yang dilaksanakan outdoor ternyata merepotkan. Ruang make up yang begitu kecil membuat Kirka terpaksa mendandani para pagar ayu di belakang panggung hiburan yang diperuntukkan wedding singer. Ruangan yang cukup besar ini begitu berisi ketika anak-anak berlarian di dalamnya, sampai salah satu menabrak seorang cameraman. Cameraman itu bertubuh besar dan berisi, perawakannya dewasa tapi berantakan. Ia mengenakan batik bernuansa hijau dan celana jeans hitam. Senyum manisnya menyungging ketika mendapati seorang anak perempuan menabraknya. Ia adalah Mas Aga, kakak laki-laki Kirka. Ia seseorang yang handal dalam bidang perfilman indie dan idaman para wanita, khusunya teman-teman Kirka. Ia menenteng camcorder dan sebuah carrier cage* untuk kucing. "Kirka, mas nitip si Taro ya. Mas janji sama mama tadi mau bawa si Taro ke pet shop, tapi enggak sempet. Jadi, titip disini dulu ya. Nanti kalau acaranya sudah selesai, mas bawa ke pet shop sama kamu." Carrier cage untuk kucing itu segera diletakkan di ujung ruangan dan disambut hangat oleh para anak kecil yang merasa penasaran. "Yaaah, mas Aga. Nanti kalau Kirka diomelin Ibu bagaimana? Pokoknya mas ya yang tanggung!" ucap Kirka yang tidak setuju dengan tindakan abangnya itu. Tapi Aga tidak memerdulikannya, ia terus meloyor pergi.
Satria memetik gitranya di ujung ruangan sambil memerhatikan kerumunan anak kecil yang sibuk bercanda. Di tengah-tengah mereka ada seorang gadis yang terlihat kelelahan, membuat Satria ingin sekali membantunya. Tapi sayang, gengsi yang dimiliki Satria sangat besar. Sehingga ia, lebih memilih duduk di sisi lain ruangan sambil memetik gitarnya.
***
"One last touch," gumam Kirka, sambil memoleskan sedikit lipgloss bermerk Barbie pada bibir Ana yang akan menjadi pagar ayu. Dan selesai sudah pekerjaan terheboh Kirka kali ini, ia pun segera meninggalkan backstage untuk mengambil air mineral di luar. Tamu-tamu sudah berseliweran di sekitar area resepsi dengan busana formal yang berwarna senada. Kirka mengedarkan pandangannya dan menemukan Mas Aga sedang merekam segala hiruk-pikuk dalam pernikahan. Tapi, mata kirka tiba-tiba terpaku pada seseorang, radar "cowok-ganteng"-nya langsung beraksi tanpa aba-aba. Cowok itu berdiri sambil memangku gitar di atas panggung. Ia mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam. Perawakannya tinggi dan kurus, kulitnya sawo matang seperti habis terbakar matahari. Untuk ukuran seorang cowok, Kirka bisa memberikan dua acungan jempol untuk cowok itu. Tidak seperti kakaknya yang serawakan dan berantakan, pikir Kirka.
Di atas panggung berdiri tiga orang cowok yang bersiap nge-band. Mereka layaknya band Hanson yang terdiri dari tiga orang bersaudara berbeda umur. Abi pada gitar, Satria pada vokal dan gitar, dan yang terkecil, Rio pada keyboard. Mereka mulai melakukan sound check. Satria memetik-metik gitar akustiknya sambil menggumamkan beberapa lagu. Ia menoleh ke abangnya, "Bi, Kita mau bawain lagu apa?" Abi yang sedang mengetes bunyi bass-gitarnya hanya menunjuk kertas yang ada di depannya, "itu ada list lagunya, Sat." Satria mulai membolak-balik kertasnya, membaca kalimat demi kalimat liriknya, lalu ia mulai memainkan kuncinya. Satria sudah hafal lagu ini di luar kepala, tapi karena hari ini ia harus tampil di depan banyak orang, sepertinya, Satria harus tetap berjaga-jaga.
Sedangkan, Kirka benar-benar tidak dapat mengalihkan pandangannya dari arah panggung. Siapa juga yang tahan buat nggak ngeliatin cowok-cowok ganteng mau ngeband, dan lagi sound check. Aduh, Ibu dapet dari mana band isinya cowok ganteng semua?! Apalagi vokalnya seumuran sama gue, pekik Kirka dalam hati.
Satria mulai melantunkan sebuah lagu yang sangat familiar dan dibawakannya secara akustik. Kirka tahu lagu ini, "ini lagu Ronan Keating! When you say nothing at all." pekik Kirka hampir berteriak. Ah, sungguh aneh dirinya ini. Lagu ini kan memang lagu favorit acara pernikahan. Kenapa juga, dia harus sesemangat itu.
Suara bariton Satria benar-benar mengalihkan Kirka yang tidak beranjak sama sekali dari tempatnya. Sampai Kirka akhirnya menyadari ada sesuatu yang aneh di atas panggung. Sesuatu berwarna putih dan berbulu ada di balik drum set yang sedang tidak dimainkan. Ia yakin bahwa sesuatu-yang-berwarna-putih itu adalah Taro, kucing anggoranya yang ia tinggalkan di ruangan backstage. Panik, Kirka langsung berlari menuju Mas Aga untuk membantunya menangkap Taro. Satria yang baru saja menyelesaikan lagu pertama hendak mengambil botol mineral yang ada di bagian belakang panggung. Sontak, ia kaget dengan adanya seekor kucing di sebelah botolnya. Satria yang tidak begitu menyukai kucing hanya berdiri di tempatnya dan melirik kucing itu dengan tatapan aneh. Akhirnya, Kirka dan Mas Aga tiba di belakang panggung dengan nafas tersengal. Kirka menatap Satria yang terheran dengan kedatangannya. "Itu kucing lo?" tanya Satria dengan nada dingin. "I-Iya. Maaf ya." jawab Kirka seraya ia menggendong kucingnya di dada. "Lain kali, kalau punya kucing jangan dibawa kesini. Dijagain dong!" kali ini Satria sedikit membentak. Raut muka Kirka memerah, ia malu besar dengan kejadian ini. Bagaimana bisa kucing yang ia miliki ini mengubah semua pandangannya tentang Satria yang ganteng itu. Mas Aga hanya cekikikan, menertawai adiknya yang baru saja kena semprot. "Mas Aga!" bentak Kirka. "Kok mas malah ketawa sih? Bukannya belain aku tadi." "Hahaha. Kan bukan salah Mas, siapa yang ninggalin kucing di backstage sama anak-anak SD? Hahaha" kata Aga masih tertawa. "Yang ngomelin kamu tadi, namanya Satria. Adik laki-lakinya Mas Abi. Temen kuliah Mas." terang Aga sambil membantu adiknya mengangkat carrier cage Taro keatas meja. "Oh, adiknya Mas Abi. Ih, dingin banget sih. Nggak kaya Mas Abi, lemah lembut gitu." cibir Kirka. "Adiknya memang nggak suka kucing, Ka. Udah ah, mas mau ngambil gambar lagi.". Aga pun meninggalkan Kirka di backstage hanya berdua dengan si Taro. "Taro, kamu ini kok bandel sih! Aku kan udah bilang jangan nakal." Kirka menatap kedalam kandang sambil mengacungkan jari telunjuknya, berusaha berkomunikasi dengan kucing nakalnya itu. "Emang kucing ngerti lo gituin? Pantes aja kabur." cemooh suara berat cowok yang berasal dari belakangnya. "Apa sih lo? Suka kucing aja nggak. Maaf deh, kalau kucing gue tadi ganggu soundcheck lo." jawab Kirka tanpa mengalihkan pandangannya dari Taro. "Iya, emang lo ganggu banget tadi." jawab Satria lagi sambil lalu. Ih, cowok apaan nih? Salah banget gue bilang dia keren. Nyatanya ngomongnya kaya orang minta dilempar pake sendal, pikir Kirka.
Acara pesta sudah setengah jalan, sudah saatnya para tamu menikmati hidangan pesta. Termasuk Kirka yang daritadi sibuk mengantri di setiap sudut ruangan untuk mendapatkan makanan yang berbeda. Dari dimsum sampai soto, dari creepes sampai kerak telor, semua sudah dijajah dan dicoba oleh Kirka. Perut karetnya ini memang tidak pernah berhenti mengunyah di setiap kesempatan, tapi kebiasaanya tidak membuat ia gemuk. Untuk seseorang yang berumur enambelas tahun, ukuran badannya memang tidak kecil, tapi tidak juga besar. Dan ia bangga pada bentuk tubuhnya ini.
Kirka sedang melahap suapan terakhir es buahnya ketika ibunya memanggil, "Kirka, sini nak! Mama perkenalkan teman lama mama yang sangat membantu acara pernikahan kali ini." Kirka sudah berdiri di antara ibunya dan mas Aga. (ia terlihat sangat kecil. karena, ibunya dan mas Aga sangat tinggi.) Ia tersenyum pada keluarga yang ada di depannya. Seorang ayah dan ibu dengan tiga anak laki-laki. Ya, siapa lagi ketiga anak laki-laki itu, kalau bukan anggota band yang soundchecknya sempat diganggu oleh kucing Kirka. Kirka hanya tersenyum simpul dan ingin segera pergi dari situ sebelum Satria menatapnya dengan tatapan maut. Nyatanya, Satria hanya sibuk memakan sisa dimsumnya. "Kirka, ini Oom Wisnuhadi Ramadya dan Tante Diajeng Ramadya. Mereka berdua yang punya butik untuk kebaya kita dan pengantin kita hari ini lho." kata ibunya bersemangat. Sedangkan yang diperkenalkan hanya tersenyum lebar ke arah Kirka. Ibu Jema memang paling senang memperkenalkan teman-temannya kepada anak bungsunya ini. Untuk masa depan, katanya. "Nah, kalau yang ini anak-anaknya." "Yang paling besar Abi. Kamu pasti sudah tau, dia kan teman kuliah kakakmu," lanjut Ibu Jema masih bersemangat. "Yang ini, Satria dan Rio. Satria seumuran sama kamu kok, dan kalau mama nggak salah, kalian berdua satu sekolah ya?" jlep! Kirka sama sekali tidak tahu menahu kalau dia dan Satria satu sekolah. Dia kan bukan kutu buku yang anti sosial, masa iya dia tidak pernah tahu? "E-eh. Hm, hee, iya kayanya, ma." jawab Kirka ragu-ragu. "Oh iya ya? Kamu sudah kenal Kirka dong ya, Satria?" tanya Ibu Diajeng pada anaknya yang sedang mengedarkan padangan dan tidak fokus dengan percakapan. "Ha? Kenapa ma?" tanya Satria lagi. "Kamu sudah kenal sama Kirka ya?" ulang Ibu Diajeng. "Oh. Sudah. Tadi, di backstage." jawab Satria sambil lalu. "Apa-apaan nih cowok? orang nanya kemana, dia jawabnya apa," bisik Kirka dalam hati. "Lho, kirain kenal di sekolah." sambung Ibu Jema lalu melanjutkan pembicaraan lain dengan ayah-ibu Ramdya.
Acara resepsi pernikahan sudah selesai, hanya tinggal keluarga pengantin dan beberapa panitia pernikahan, termasuk keluarga Kirka dan Satria.
"Jadi, lo satu sekolahan sama gue, ya?" suara Satria mengagetkan Kirka yang sedang melamun.
"Ha? Iya mungkin." jawab Kirka sekenanya.
"Oh. Gue nggak pernah lihat elo." kata Satria lalu meninggalkan Kirka yang masih keheranan. Gue yakin ada yang aneh sama cowok itu.
***
*Carrier cage: kandang untuk binatang peliharaan yang bisa dibawa kemana saja. Berbentuk kotak berukuran lebih kecil setengah dari kandang normal.
